• This is Slide 1 Title

    Caci Performance di Kampung Wae Rebo, Flores, NTT

  • This is Slide 2 Title

    Danau Kelimutu, Ende, Flores, NTT

  • This is Slide 3 Title

    Kampung Wae Rebo, di Manggarai, Flores,NTT,Indonesia

  • This is Slide 4 Title

    Thanks Giving Ceremony in Kampung Welo,Manggarai, Flores,NTT,Indonesia

  • This is Slide 5 Title

    Gua Rangko di Manggarai Barat, Flores,NTT,Indonesia

Showing posts with label Travelogue. Show all posts
Showing posts with label Travelogue. Show all posts

Thursday, September 25, 2025

Bena: A Timeless Cultural Treasure of East Nusa Tenggara

Bena Village
 

Bena Village is one of the oldest and most well-known traditional villages on Flores Island, located at the foot of Mount Inerie, in Ngada Regency, East Nusa Tenggara. This village serves as an important representation of the cultural heritage of the indigenous Ngada people, who continue to preserve their ancestral traditions, social structures, and architecture across generations.

Geographically, Bena Village is situated about 19 kilometers from the town of Bajawa and lies at an altitude of over 1,200 meters above sea level. Its location on the mountain slope offers stunning natural scenery and a cool, serene atmosphere.

The village consists of nine main clans: Dizi, Dizi Azi, Wahto, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Khopa, Ngada, Ago, and Tobu. Each clan occupies traditional houses (sa’o) that are neatly arranged around the central courtyard. These houses are built using traditional architecture with materials such as wood, bamboo, and thatched grass roofs, and are adorned with symbolic carvings rich in philosophical and spiritual meaning.

At the center of the village stand the Ngadhu and Bhaga, two highly sacred traditional structures. The Ngadhu symbolizes male ancestors and is typically a pillar with a roof resembling an umbrella, while the Bhaga represents female ancestors and takes the form of a small house. Both structures are the focal points of traditional rituals and symbolize the balance of life within the indigenous community.

Bena Village is also known for its rich cultural values, which are strictly preserved. These include traditional ceremonies, kinship systems, animistic beliefs blended with modern religions, and handcrafted arts such as ikat weaving, which is done using traditional methods.

In addition to being a cultural tourism destination, Bena Village is also an archaeological site, with the discovery of megalithic stones indicating traces of ancient civilization in the area.

 

Wednesday, September 24, 2025

What to Know Before Exploring Flores and Komodo National Park






Preparation done by tourists before traveling to Flores and Komodo, East Nusa Tenggara (NTT), usually includes several important things to ensure a smooth and enjoyable trip. Here is the list of preparations:

1. Documents and Tickets

Ø Passport/ID card (depending on origin)

Ø Plane tickets to Labuan Bajo (the main airport for access to Flores and Komodo)

Ø Accommodation booking in advance

Ø Permit or entrance ticket to Komodo National Park (usually purchased on site)

2. Travel Plan

Ø Determine the main routes and destinations (Labuan Bajo, Komodo Island, Rinca Island, Padar Island, Pink Beach, etc.)

Ø Book a tour guide or travel package if you want a more organized and safe trip
 
3. Clothing and Equipment

Ø Light and comfortable clothes (tropical, hot weather)

Ø Swimsuit and snorkeling/diving gear (Flores is famous for great underwater spots)

Ø Trekking shoes or hiking sandals (for exploring Komodo Island and hiking)

Ø Hat, sunglasses, and sunscreen (protection from the sun)
 
4. Electronic Devices

Ø Camera/phone with spare batteries or power bank (many beautiful spots for photos)

Ø Snorkeling or diving equipment if you have one (can also be rented there)
 
Health and Safety

Ø Personal medicines and first aid kit

Ø Motion sickness medicine (because of many boat trips)

Ø Recommended vaccinations (consult your doctor)

Ø Travel insurance (optional but recommended)
Money and Communication

Ø Bring enough cash (ATMs in Labuan Bajo are limited)

Ø Local SIM card with data package for internet access
 
Weather and Local Conditions Information

Ø Check weather conditions before departure (dry season is usually the best)

Ø Know the local rules and customs to avoid offending the local culture

Sunday, September 21, 2025

Bersiap Menuju Bena, Bajawa: Panduan Wisatawan Sebelum Kunjungan


Berikut adalah hal-hal yang sebaiknya dilakukan wisatawan sebelum berkunjung ke Kampung Bena:


Pertama, Mengurus Izin dan Registrasi di Pos Masuk. Sebelum memasuki Kampung Bena, wisatawan wajib melapor di pos registrasi pengunjung yang terletak di pintu masuk kampung. Biasanya pengunjung diminta membayar tiket masuk sebesar 25.000 untuk wisatawan mancanegara dan 10.000 untuk wisatawan domestik. Uang ini digunakan untuk pemeliharaan kampung dan mendukung kegiatan adat.


Kedua, Mempelajari Etika Berkunjung ke Kampung Adat. Karena Bena adalah kampung adat yang masih aktif, wisatawan perlu mengetahui dan menghormati nilai-nilai budaya setempat, antara lain:

Berpakaian sopan (hindari pakaian terbuka, terutama bagi wanita).Tidak memegang atau duduk di batu megalitikum, Ngadhu, dan Bhaga, karena benda-benda ini dianggap sakral. Meminta izin sebelum memotret warga lokal, terutama saat mereka sedang beraktivitas atau beribadah. Tidak berbicara keras atau berperilaku tidak sopan.


Ketiga, Menyiapkan Barang Bawaan yang Sesuai. Gunakan alas kaki yang nyaman (karena permukaan jalan berbatu). Bawa topi, sunscreen, dan air minum karena cuaca bisa cukup terik meski udaranya sejuk.

Siapkan uang tunai kecil untuk donasi, membeli tenun ikat, atau jajanan lokal.


Keempat, Menyusun Agenda Kunjungan dan Koordinasi dengan Warga Lokal. Tour guide membawa rombongan, sebaiknya berkoordinasi terlebih dahulu dengan tokoh adat atau pengelola kampung jika ingin mengatur sesi khusus seperti: Demonstrasi menenun. Pertunjukan musik atau tari adat (bila memungkinkan).Makan siang tradisional bersama warga.Ini memberi kesan lebih personal dan menunjukkan rasa hormat terhadap waktu dan adat masyarakat.


Kelima, Belajar Singkat tentang Budaya Ngada. Sebelum masuk ke Kampung Bena, akan sangat membantu jika wisatawan mendapat pengantar singkat tentang: Struktur suku dan rumah adat, fungsi Ngadhu dan Bhaga, Filosofi hidup masyarakat adat, Nilai-nilai spiritual dan hubungan mereka dengan alam serta leluhur. Hal ini bisa disampaikan dalam perjalanan menuju kampung, agar saat sampai, wisatawan lebih menghargai apa yang mereka lihat.


Keenam, Mengecek Kondisi Kendaraan dan Jalur Perjalanan. Akses menuju Kampung Bena dari Bajawa sekitar 30–40 menit dengan kendaraan pribadi. Jalan menuju lokasi cukup baik, tetapi berkelok dan menanjak.Pastikan kendaraan dalam kondisi prima, terutama jika membawa rombongan tur.


Ketujuh, Mengatur Waktu Kunjungan

Waktu terbaik untuk berkunjung adalah pagi hingga sore hari (sekitar pukul 08.00 – 16.00 WITA). Hindari datang terlalu pagi atau terlalu sore agar tidak mengganggu aktivitas warga. Jika ingin melihat matahari terbenam dengan latar rumah adat dan Gunung Inerie, waktu sekitar jam 16.30–17.30 adalah yang paling indah.

Kampung Bena dalam Lintasan Budaya dan Alam Flores

Kampung Bena bukan hanya tempat untuk melihat rumah adat, tetapi juga lokasi yang kaya pengalaman budaya dan spiritual. Berikut beberapa aktivitas yang sangat direkomendasikan untuk para wisatawan:

Pertama, Menyusuri Rumah Adat dan Belajar tentang Struktur Suku. Wisatawan dapat berjalan kaki menyusuri deretan rumah adat (sa’o) yang tersusun rapi. Tour guide bisa menjelaskan Arsitektur tradisional dan fungsi setiap bagian rumah, makna simbolik dari Ngadhu dan Bhaga., serta menjelaskan perbedaan antar suku yang tinggal di Kampung Bena. Wisatawan naik ke bagian atas kampung untuk mendapatkan sudut pandang yang menunjukkan bentuk kampung menyerupai perahu.


Kedua, Berfoto dengan Latar Rumah Adat dan Gunung Inerie. Karena letaknya di lereng Gunung Inerie, Kampung Bena menawarkan panorama yang luar biasa indah. Lokasi ini sangat fotogenik, terutama saat cuaca cerah atau menjelang matahari terbenam.

Spot favorit: Ujung kampung yang menghadap langsung ke lembah dan Gunung Inerie.


Ketiga, Mencoba dan Membeli Tenun Ikat Tradisional. Masyarakat Bena memproduksi tenun ikat khas Ngada yang dibuat dengan teknik pewarnaan alami dan motif yang sarat makna budaya. Wisatawan dapat

melihat langsung proses menenun,mencoba mengenakan kain adat serta membeli sebagai oleh-oleh langsung dari pengrajin.


Keempat, Mencicipi Makanan Lokal (Jika Tersedia). Beberapa warga kadang menyediakan makanan tradisional seperti:

Jagung titi (jagung pipih khas Flores),Ubi rebus, Minuman tradisional seperti arak lokal (bagi yang diizinkan). Jika Anda bekerja sama dengan warga, bisa juga mengatur makan siang bersama keluarga lokal untuk pengalaman yang lebih otentik.


Kelima, Mengikuti atau Menyaksikan Upacara Adat (Jika Ada). Bila bertepatan dengan waktu pelaksanaan upacara Reba atau ritual adat lainnya, wisatawan bisa menyaksikan prosesi tersebut dari jarak yang sopan dan dengan izin warga. Sebelum memotret atau merekam, pastikan wisatawan meminta izin, terutama saat acara sakral.


Keenam, Melihat Situs Megalitikum

Di tengah kampung terdapat batu-batu megalitikum peninggalan leluhur. Wisatawan bisa belajar tentang kepercayaan masyarakat terhadap roh nenek moyang dan bagaimana mereka menjaga hubungan spiritual dengan alam dan leluhur melalui batu-batu tersebut.


Ketujuh, Trekking Ringan di Sekitar Kampung

Bagi wisatawan yang suka kegiatan alam, trekking ringan di sekitar Kampung Bena menuju desa-desa sekitar seperti Tololela atau Manubhara bisa menjadi pengalaman menarik. Jalurnya melewati hutan kecil, ladang, dan pemandangan alam yang memukau.


Kampung Bena menawarkan lebih dari sekadar keindahan visual – ia memberikan pengalaman hidup yang menyentuh akar budaya Nusantara. Dengan sikap hormat dan ketertarikan, wisatawan bisa belajar banyak tentang nilai kehidupan, kesederhanaan, dan harmoni dengan alam.

Eksplorasi Jenis-Jenis Kegiatan Adat di Kampung Adat Bena, Bajawa


Masyarakat Kampung Bena hidup dalam tatanan adat yang sangat kuat, di mana tradisi dan kepercayaan leluhur masih menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Adat istiadat yang dijalankan tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai spiritual, sosial, dan kultural yang diwariskan turun-temurun.

Beberapa adat istiadat yang paling menonjol di Kampung Bena antara lain: pertama, Upacara Reba. Upacara Reba adalah ritual adat terbesar dan paling sakral bagi masyarakat suku Ngada, termasuk di Kampung Bena. Reba biasanya dilaksanakan setiap awal tahun (bulan Desember atau Januari), sebagai bentuk syukur kepada leluhur atas hasil panen dan kehidupan yang diberikan selama setahun terakhir. Selama Reba, masyarakat akan berkumpul di rumah adat dan melaksanakan serangkaian prosesi, termasuk: Pembacaan cerita leluhur (dodo) dalam bahasa adat. Penyembelihan hewan kurban, seperti babi atau kerbau, sebagai persembahan kepada para leluhur.Tari-tarian dan nyanyian adat, diiringi gong dan gendang, sebagai simbol kegembiraan dan penghormatan terhadap roh-roh nenek moyang. Reba bukan sekadar pesta adat, tetapi juga momen pemersatu antar anggota suku dan generasi muda, agar tetap mengenal akar budaya mereka.


Kedua, Upacara Pembangunan Rumah Adat (Sa’o). Pembangunan rumah adat di Kampung Bena tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada serangkaian ritual adat yang harus dilalui, mulai dari pemilihan kayu, peletakan batu pertama, hingga penyelesaian atap. Dalam setiap tahap, akan dilakukan doa-doa adat dan persembahan untuk memohon restu leluhur, agar rumah yang dibangun diberkati dan terhindar dari mara bahaya.


Ketiga, Ritual Penguburan dan Pemujaan Leluhur. Masyarakat Bena memiliki kepercayaan kuat terhadap roh leluhur. Oleh karena itu, makam batu (dolmen) yang terletak di sekitar rumah menjadi tempat suci. Setelah seseorang meninggal, jenazah biasanya dimakamkan dekat rumah keluarganya dengan upacara adat. Ritual ini bertujuan untuk “mengantar” arwah ke alam leluhur, serta memastikan agar roh tersebut tetap melindungi keluarga yang ditinggalkan.


Keempat, Tenun Ikat sebagai Warisan Budaya. Tenun ikat di Kampung Bena bukan sekadar kerajinan tangan, melainkan bagian dari identitas adat. Motif tenun memiliki makna simbolik, sering kali mencerminkan status sosial, marga, atau peristiwa penting dalam sejarah suku. Tenun juga dipakai dalam berbagai upacara adat, baik pernikahan, kematian, maupun pesta panen.


Adat istiadat yang masih hidup dan dilestarikan di Kampung Bena menunjukkan bagaimana masyarakatnya tetap menjaga keseimbangan antara modernitas dan tradisi. Bagi para pengunjung, ini adalah pengalaman berharga untuk menyaksikan langsung kehidupan masyarakat adat yang harmonis dengan alam dan warisan leluhur

Kampung Adat Bena – Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur

Kampung Bena merupakan salah satu kampung adat tertua dan paling terkenal di Pulau Flores, terletak di kaki Gunung Inerie, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini menjadi salah satu representasi penting warisan budaya masyarakat adat suku Ngada, yang masih mempertahankan tradisi, struktur sosial, serta arsitektur leluhur secara turun-temurun.


Secara geografis, Kampung Bena berada sekitar 19 kilometer dari Kota Bajawa dan terletak di ketinggian lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut. Lokasinya yang berada di lereng gunung memberikan pemandangan alam yang memukau, serta suasana yang sejuk dan asri.


Kampung ini terdiri dari sembilan suku utama, yakni Dizi, Dizi Azi, Wahto, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Khopa, Ngada, Ago, dan Tobu. Setiap suku menempati rumah-rumah adat (sa’o) yang berjajar rapi mengelilingi pelataran utama. Rumah-rumah tersebut dibangun dengan arsitektur tradisional berbahan dasar kayu, bambu, dan atap ilalang, serta dihiasi ukiran simbolik yang sarat makna filosofis dan spiritual.


Di tengah kampung terdapat "Ngadhu" dan "Bhaga", dua struktur adat yang sangat sakral. Ngadhu melambangkan leluhur laki-laki dan biasanya berbentuk tiang dengan atap menyerupai payung, sedangkan Bhaga melambangkan leluhur perempuan dan berbentuk rumah kecil. Keduanya merupakan pusat ritual adat dan menjadi simbol keseimbangan kehidupan masyarakat adat.


Kampung Bena juga dikenal akan kekayaan nilai budaya yang dijaga secara ketat, termasuk upacara adat, sistem kekerabatan, kepercayaan animisme yang berbaur dengan agama modern, serta kerajinan tangan seperti tenun ikat yang dibuat secara tradisional.


Selain sebagai destinasi wisata budaya, Kampung Bena juga menjadi situs arkeologi dengan ditemukannya batu-batu megalitikum yang menunjukkan jejak peradaban kuno di wilayah ini.

Friday, September 19, 2025

Gerbang Menuju 17 Pulau Riung: Omah Erma, Homestay Penuh Pesona

@Oma Irma Homestay/Booking (+62 812‑4622‑4886 )
Di sebuah sudut tenang desa Lengkosambi Barat, sekitar 10 menit dari pesisir pantai Riung yang memukau, berdiri sebuah rumah penginapan kecil bernama Omah Erma. Sebuah homestay sederhana namun penuh kehangatan khas Flores. 

Penduduk lokal menyebutnya kadang sebagai Oma Herma atau bahkan Oma Irma, karena pengucapan yang mirip-mirip dalam dialek setempat. Nama aslinya memang tidak terlalu penting di sini. Yang lebih penting adalah pengalaman yang ia tawarkan.


Dari luar, Omah Erma tampak seperti rumah biasa. Dindingnya bersih, taman kecil di depannya hijau terawat, dan terdapat beberapa kursi rotan di teras untuk bersantai. Tidak ada kemewahan mencolok, tapi justru itulah daya tariknya—kesederhanaan yang hangat dan bersahabat. Begitu kamu tiba, kamu mungkin akan disambut langsung oleh pemiliknya, yang ramah dan murah senyum. Mereka tidak hanya menyewakan kamar, tapi juga menyambutmu seperti tamu keluarga.


Omah Erma menyediakan lima kamar tidur. Tidak banyak, karena ini bukan hotel besar, melainkan bed & breakfast lokal. Kamarnya cukup luas untuk dua orang, dilengkapi dengan tempat tidur king-size atau twin bed, AC, serta kamar mandi dalam yang bersih. Di pagi hari, suara burung dan cahaya matahari dari jendela akan membangunkanmu, memberi sensasi "back to nature" yang tidak bisa kamu dapatkan di kota.


WiFi tersedia gratis, cukup stabil untuk browsing atau mengirim pesan. Setiap pagi, kamu akan disajikan sarapan khas Indonesia seperti nasi goreng, roti bakar, pancake,telur, buah segar, dan kopi Flores yang harum dan kuat, dinikmati di ruang terbuka nan sejuk sambil memandang pepohonan tropis yang tumbuh lebat di sekitar rumah.


Para wisatawan juga tidak jauh jauh keluar penginapan untuk mencari lokal restoran. Disini menyajikan makan malam yang lezat khas Indonesia seperti sea food,sate ayam, dan beberapa makanan khas luar negeri dan Flores. Wisatawan bisa memesan sesuai selera masing masing. Dijamin rasa lapar dan capeh hilang.


Lokasinya sangat strategis bagi pelancong yang ingin menjelajahi Taman Laut 17 Pulau Riung. Salah satu permata tersembunyi Flores yang belum terlalu ramai oleh turis. Dari Omah Erma, kamu bisa berjalan kaki menuju Pantai Watulajar dalam waktu kurang dari 10 menit, atau naik motor sebentar ke pelabuhan Riung, tempat kamu bisa menyewa perahu untuk tur pulau.


Bahkan, pemilik Omah Erma kadang bisa membantu mengatur perjalanan dengan perahu ke pulau-pulau di sekitar termasuk snorkeling di air sebening kaca, menjelajah pantai pasir putih, hingga barbeque seafood segar di pulau terpencil. Semua dengan harga yang lebih terjangkau dan suasana yang jauh dari hiruk pikuk wisata massal.


Keramahan, pelayanan dan fasilitas yang tersedia membuat banyak tamu jatuh cinta pada Omah Erma Homestay . Tempat yang sunyi, juga orang-orangnya. Review dari berbagai wisatawan menyebutkan keramahan pemilik dan staf sebagai daya tarik utama. Mereka dengan senang hati membantu apapun—mulai dari menyewa motor, mengatur tur, hingga memberi saran tempat makan atau rute terbaik menjelajahi Flores.


Tidak ada meja resepsionis 24 jam atau layanan kamar seperti hotel besar, tapi yang kamu dapatkan justru hubungan manusia yang hangat dan nyata. Sesuatu yang sangat jarang ditemukan di tempat lain.


Menginap di Omah Erma tidak akan menguras kantong. Harga per malamnya sekitar Rp 490.000 – Rp 500.000, sudah termasuk sarapan dan fasilitas dasar. Harga ini tidak berubah walaupun high season.


Omah Erma bukan sekadar tempat menginap. Ia adalah pengalaman. Di tengah ketenangan Riung, jauh dari kebisingan kota, kamu bisa menemukan ruang untuk bernapas, untuk merasa "di rumah", dan untuk terkoneksi kembali dengan alam dan budaya lokal.


Bagi mereka yang mencari akomodasi mewah, mungkin tempat ini bukan jawabannya. Tapi bagi kamu yang mencari keaslian, kehangatan, dan kedamaian, Omah Erma bisa jadi salah satu tempat paling berkesan di perjalananmu menjelajahi Flores.












Jelajahi Keindahan Tak Tersentuh Taman Laut 17 Pulau Riung, Flores, NTT



Perjalanan dimulai dari penginapan di Riung menuju pelabuhan utama. Di pintu masuk pelabuhan, wisatawan diwajibkan membayar tiket masuk Taman Nasional Riung—sebesar Rp100.000 untuk turis mancanegara dan Rp20.000 untuk wisatawan domestik. Di pelabuhan, Anda akan bertemu dengan kapten kapal yang akan memandu perjalanan laut Anda hari ini.


Setelah semua persiapan selesai, petualangan dimulai dengan pelayaran menuju Pulau Kelelawar. Perjalanan laut selama kurang lebih 30 menit ini akan membawa Anda melihat koloni kelelawar besar yang menggantung di pepohonan bakau. Pemandangan eksotis ini menjadi pembuka sempurna untuk menjelajahi keindahan alam Taman Laut Riung.


Tujuan berikutnya adalah Pulau Bakau, tempat ideal untuk aktivitas snorkeling pertama hari ini. Perairan di sekitar pulau ini menawarkan kejernihan luar biasa dan terumbu karang yang memukau.


Usai menikmati Pulau Bakau, perjalanan dilanjutkan ke Pulau Tiga. Di sini, para kru kapal akan mulai menyiapkan makan siang khas—biasanya berupa ikan panggang segar dan sajian lokal lainnya. Sementara itu, Anda bisa kembali snorkeling, berjalan-jalan di pantai, atau sekadar beristirahat santai di bawah naungan pohon.


Setelah makan siang dan beristirahat sejenak di Pulau Tiga, rombongan menuju Pulau Rutong, destinasi terakhir dalam tur ini. Di sini, aktivitas snorkeling kembali dilakukan, namun daya tarik utama Pulau Rutong adalah trekking ke puncak bukit. Dari atas bukit, pemandangan spektakuler menanti—hamparan laut biru, gugusan Tujuh Belas Pulau, dan latar belakang Pulau Flores yang memukau. Ini adalah momen sempurna untuk mengambil foto-foto indah sebagai kenang-kenangan.


Menjelang sore, setelah puas menikmati alam Pulau Rutong dan bersantai di pantainya, rombongan kembali ke kapal untuk pelayaran pulang ke Pelabuhan Riung. Dari sana, wisatawan kembali ke penginapan, membawa pulang kenangan tak terlupakan dari hari yang penuh petualangan di Taman Laut Tujuh Belas Pulau Riung.















Snorkeling with Kalongs: Exploring the Wild Islands of Riung




The morning broke gently in Riung, a small, sleepy coastal village tucked into the northern shores of Flores, Indonesia. Mist still clung to the hills as the sun began to rise, casting a golden veil over the ocean. The waves lapped softly against the wooden dock, where a small boat bobbed patiently—waiting to carry us into the unknown.

We were headed to Tujuh Belas Pulau, the “Seventeen Islands” of Riung. A name that doesn’t count the islands so much as it honors something deeper: the spirit of independence, the date of Indonesia’s freedom—August 17th. It felt fitting, then, to begin this journey with a sense of quiet reverence.


A Sea Painted in Blue and Silence

As the boat pulled away from the shore, the mainland slowly faded into a haze of green hills. The sea stretched endlessly ahead, clear and impossibly blue. One by one, the islands began to appear—floating like emeralds scattered across a sapphire canvas.

There were no resorts here, no beach clubs or souvenir stands. Only untouched beaches, whispering mangroves, and the occasional flicker of birds dancing across the sky. It felt like sailing into a time before noise, before the world became busy.


The Dance of Bats – Ontoloe Island

By late afternoon, we arrived at Ontoloe Island, a sanctuary for giant fruit bats—"kalongs" as the locals call them. The trees were dark with their silhouettes, hanging upside down like strange fruit waiting for dusk.

And then, as the sun began to dip below the horizon, they moved.

Thousands of bats erupted from the treetops, swirling into the sky in great black waves. The sound of their wings and the sight of their numbers filled the air with wonder. They danced against a sky painted in orange and violet, a natural spectacle more powerful than any fireworks.


Beneath the Surface – Rutong and Meja Island

The next day, we snorkeled off the coast of Pulau Rutong, where the real magic lay beneath the waves.

The water was so clear you could see straight to the ocean floor. Coral gardens bloomed in every direction—pinks, purples, and oranges—and shoals of fish sparkled in the sunlight like moving jewels. I floated in silence, wrapped in water and color, and thought, "This must be what dreaming feels like."

Later, we landed on Pulau Meja—a flat, lonely island with nothing but soft white sand and a few shady trees. We ate grilled fish with our hands, sipped strong Flores coffee, and watched the waves curl gently onto the shore.

There was no Wi-Fi. No music. Only the sound of laughter, the wind in the trees, and the rhythm of the tide.


A Farewell at Sunset – Pulau Tiga

Our last stop was Pulau Tiga, one of the larger islands. Here, we hiked up a short trail to a viewpoint, where the sea opened wide before us, dotted with all the islands we had visited—and many we hadn't.

As the sun set, everything turned gold. The ocean reflected the sky, and for a moment, it was hard to tell where the sea ended and the heavens began. It was there, sitting on warm rocks with sand still between my toes, that I realized: Riung isn’t just a place. It’s a feeling.


The Story That Stays With You

Back on the mainland, the journey felt like a dream we were slowly waking from. The boat docked. The stars came out. Life returned to its usual rhythm—but we were different now.

We had seen wildness and beauty, silence and freedom. We had drifted between seventeen islands, each one holding a piece of something we’d lost in the rush of the everyday.

And though we left Riung behind, it did not leave us.
It stayed—in the salt on our skin, in the calm in our breath,
and in the quiet whisper of the sea, calling us back

Wednesday, September 17, 2025

Koka Beach: Silence, Sand, and the Sea

Koka Beach 
Imagine you're on a winding road deep in the heart of East Nusa Tenggara, Indonesia. A gentle breeze rolls in from the hills, carrying the scent of earth and sea. Your car moves slowly past small villages, fields of corn, and rows of wild coconut trees. The paved road eventually gives way to a rugged dirt path. For about two kilometers, you bump along a narrow, rocky trail. It’s the kind of journey that tells you—you’re heading somewhere untouched, somewhere special.

At the end of the road, you arrive. Before you lies a hidden gem: Koka Beach, nestled in Wolowiro Village, Paga District, just west of Maumere. A stretch of white sand glows beneath the tropical sun, soft as flour beneath your feet. The sea glistens in stunning shades of turquoise and blue, calm and inviting. On either side of the beach, two green hills rise: Rodja Hill to the west and Ndate Sare Hill to the east. Out in the distance, a large rock formation juts out from the sea—locals say it resembles a bird in flight, and that’s where the beach gets its name: "Koka."

You step closer to the shoreline. The soft waves kiss your toes, and the sound of the sea is peaceful, almost meditative. There are no crowds here. Just a few local visitors lounging under bamboo gazebos, and children laughing as they build sandcastles. There are no luxury resorts or buzzing beach clubs. Just the sky, the sea, and silence.

You begin walking along the curve of the beach. On one end, the waves are gentle enough for snorkeling—colorful fish dart through living coral, just below the surface. On the other end, a small hill offers a scenic viewpoint. From there, Koka Beach reveals its most captivating feature: its shape. The beach is split into two symmetrical coves, framed by natural headlands, making it look like something out of a dream.

As the day fades, the sky begins to turn golden. The sun lowers itself into the ocean, painting the sea in strokes of amber, purple, and rose. The water reflects the shifting sky, glowing with the day’s final light.

A local woman offers you a fresh coconut and a plate of grilled fish, caught just that morning. You sit on a simple mat, sipping and savoring, with the ocean stretched endlessly in front of you. There’s no cell signal. No notifications. Just you, the waves, and a rare kind of stillness.

This is Koka Beach—a place where nature speaks in colors and silence. A place where beauty comes without pretense. And a place that reminds you that sometimes, the most precious treasures are those hidden away, waiting patiently to be found.

Friday, September 12, 2025

Menyambut Mentari dari Gunung Inerie

 

Menyambut Mentari dari Gunung Inerie

View Point from Inerie Mountain



Di ketinggian yang menjulang di atas kota Bajawa, aku berdiri di puncak Gunung Inerie, menyambut pagi dini hari dengan keheningan yang begitu mendalam. Udara dingin langsung menyentuh kulit, menusuk hingga ke tulang, membawa kesegaran yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Di sekelilingku, gelap malam masih menguasai langit, sementara bintang-bintang berkelip seperti ribuan lampu kecil yang bertaburan di kanvas hitam yang luas. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara pegunungan yang bersih, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang basah oleh embun.


Pelan-pelan, di ufuk timur yang jauh, muncul semburat warna lembut—oranye, merah jambu, dan ungu—seperti sapuan kuas pelukis yang perlahan menembus kegelapan. Cahaya pertama pagi mulai membelah cakrawala, membangkitkan harapan dan kehidupan baru. Sinar matahari yang terbit tidak hanya menerangi bumi, tapi juga menghangatkan jiwa yang seolah terbangun dari mimpi panjang.


Sekelilingku sunyi, hanya terdengar suara alam yang tenang dan damai. Desiran angin berhembus di antara rerumputan yang basah oleh embun, menimbulkan suara gemerisik halus yang seolah menjadi nyanyian alam di pagi hari. Burung-burung mulai berkicau, melantunkan lagu-lagu indah yang menambah kedamaian suasana. Kabut tipis menggulung lembut di antara lembah-lembah di bawah puncak, menciptakan pemandangan bak lukisan magis yang penuh misteri dan keindahan.



Dari sini, pemandangan Bajawa tampak jelas dan menakjubkan. Atap-atap rumah kecil berjejer rapi di bawah sana, dikelilingi oleh ladang dan kebun yang mulai bangun menyambut sinar mentari. Gunung-gunung lain yang berdiri kokoh mengitari puncak ini, menciptakan pelukan alam yang kokoh dan abadi. Sesekali, awan putih tipis melintas pelan, menambah dimensi dramatis pada panorama pagi itu.


Di saat seperti ini, aku merasa begitu kecil di hadapan kebesaran alam. Namun, di saat yang sama, aku merasa sangat hidup, terhubung dengan alam dan semesta yang luas. Heningnya pagi hari di puncak gunung membawa kedamaian yang sulit diungkapkan dengan kata-kata—sebuah perasaan syukur yang dalam, sebuah keheningan yang penuh makna.


Matahari terus naik perlahan, menyapu kabut dan menggantikan warna langit dengan biru cerah. Hangatnya sinar mentari kini mengusir dingin, memberi energi baru untuk memulai hari. Aku berdiri sejenak, membiarkan diri tenggelam dalam keindahan dan ketenangan pagi ini, merasakan bahwa setiap detik adalah hadiah, dan setiap nafas adalah kesempatan untuk mengisi hidup dengan makna.

Journey Through Mist and Memory: The Magic of Wae Rebo Village



Journey Through Mist and Memory: The Magic of Wae Rebo Village
@florestourguide/Wae Rebo

Situated at an altitude of 1,200 meters above sea level, nestled behind the green hills of Flores Island, lies Wae Rebo Village—a traditional settlement that not only symbolizes the resilience of Manggarai culture but also stands as a silent witness to an enduring ancestral civilization that lives on to this day. Wae Rebo is often dubbed the “village above the clouds” due to its remote location and the mist that shrouds it almost all day long. But beyond its mystical appearance, this village is home to noble values passed down through more than 19 generations.

Wae Rebo is believed to have been founded by an ancestral figure named Empo Maro, who, according to folklore, came from Minangkabau, West Sumatra. In his journey eastward across the archipelago, Empo Maro and his descendants moved from one place to another until they finally settled in this secluded valley. The village they built eventually evolved into a strong traditional community that faithfully preserves the customs and social structures inherited from their ancestors.

Although it was once temporarily uninhabited, Wae Rebo was resettled around the year 1920. Since then, it has not only been a center of life for the indigenous community but also a reflection of a sincere commitment to cultural preservation. In 2012, UNESCO awarded Wae Rebo the Asia-Pacific Award for Cultural Heritage Conservation, recognizing the community’s efforts to safeguard their cultural heritage.

Wae Rebo Village is built upon a deep philosophy of harmony between humans, nature, and ancestors. The name “Wae Rebo” itself derives from the word “Wae”, meaning “water,” symbolizing the importance of natural elements in the community’s life. At the center of the village stands a circular stone altar known as Compang, which serves as the spiritual hub and symbolizes the vertical connection between humans, God, and their ancestors.

The life of Wae Rebo’s people is rich with traditional rituals, such as Penti, an annual ceremony held to express gratitude for the harvest and the blessings of nature. There is also Neku, a ritual performed before building a new house, and Wuat Wa’i, a cleansing ceremony to purify the environment from negative influences. These rituals not only reinforce community bonds but also serve as vital means for transmitting cultural values across generations.

One of the most iconic aspects of Wae Rebo is its traditional house, known as Mbaru Niang. Shaped like a tall conical tower, these houses embody the spirit of communal living. There are seven Mbaru Niang arranged in a circle around the Compang, symbolizing unity and equality among the villagers.

Each Mbaru Niang consists of five levels, each with its own specific function:
Lutur – the main area for family activities and sleeping.
Lobo – a storage space for daily food supplies.
Lentar – a space for storing plant seeds.
Lempa Rea – a storage room for food reserves and valuables.
Hekang Kode – the highest and most sacred level, used to keep offerings for the ancestors.

The entire structure is made from natural materials such as wood, palm fiber, and lontar leaves, assembled using traditional techniques without nails. This design is not only aesthetically pleasing but also functional—weather-resistant and environmentally friendly.

Wae Rebo is not merely a cultural tourism destination; it is a living civilization—a place where local wisdom, sustainable architecture, and spiritual values come together in harmony. Amid the tides of modernization, Wae Rebo shows that preserving tradition is not a rejection of progress but a firm foundation for a lasting cultural identity. This village stands as tangible proof that ancestral heritage can remain relevant and meaningful—even in the era of globalization